Senin, 18 November 2013

KISAH NABI KHIDIR AS


Salah satu kisah Al-Qur'an yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri
adalah, kisah seseorang hamba yang Allah SWT memberinya rahmat dari sisi-Nya dan
mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya
dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu:
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: 'Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan
sampai bertahun-tahun." (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah bertekad untuk meneruskan
perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma'
al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang
dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majma' al-Bahrain. Anda dapat
merenungkan betapa tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan
keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang
mengatakan bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi
bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu
berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang
mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan
bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.
Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya.
Namun Al-Qur'an al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Qur'an
tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur'an tidak menyebutkan namanama
orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang
kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita
miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan
tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan
wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu
yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian
tabir yang tebal.
Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa
juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi
dan di tempat mana. Al-Qur'an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur'an
sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal
tersebut dalam firman-Nya:
"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya
rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
(QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur'an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang
hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang
yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para
rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang
Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini,
beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya
dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau
pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam
Al-Qur'an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebabsebab
penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh
Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya.
Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak
bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya.
Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya
menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang
dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian
tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun;
dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang.
Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau
mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang
mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba
ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat
menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal
yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur'an telah menurunkan hujan lebat yang darinya
mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat
keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi
dan syuhada namun para nabi dan para syuhada "cemburu" dengan ilmu mereka.
Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan
bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia
seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana
keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas,
kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang
(otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana
meninggalnya hamba-hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas
kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau
membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang
dikemukakan dalam Al-Qur'an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk
menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran.
Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan
pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: "Apakah ada di muka bumi
seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?" Dengan nada emosi, Musa
menjawab: "Tidak ada."
Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk
bertanya kepadanya: "Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT
meletakkan ilmu-Nya?" Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu
keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: "Sesungguhnya Allah SWT mempunyai
seorang hamba yang berada di majma' al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu."
Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam
dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia
dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan
membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di
tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya
yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua
pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat
yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan
kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk
menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan
menempuh waktu yang lama.
Musa berkata kepada pembantunya: "Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali
engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu." Pemuda atau
pembantunya berkata: "Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu
berat." Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan
rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan
sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke
laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat
pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar
kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang
dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan
peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan
mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan
ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: "Coba bawalah kepada
kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari
perjalanan ini."
Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu
melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf
kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya.
Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar
berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa
merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: "Demikianlah
yang kita inginkan." Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di
tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan
pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di
situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran
dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda
terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir
yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua
sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar
menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui
namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui
usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Qur'an:
"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami. "
Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di
dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT
berfirman:
"Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka
lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala
mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: 'Bawalah ke rnari
makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.' Muridnya
menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka
sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang
melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke
laut dengan cara yang aneh sekali.' Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari; lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang
hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi:
61-65)
Bukhari mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah
hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam
kepadanya. Khidir berkata: "Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?" Musa
menjawab: "Aku adalah Musa." Khidir berkata: "Bukankah engkau Musa dari Bani Israil.
Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Musa berkata: "Dari mana kamu mengenal
saya?" Khidir menjawab: "Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga
yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?" Musa
berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah aku dapat mengikutimu agar
engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya."
Khidir berkata: "Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah
mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak
akan mampu bersabar bersamaku."
Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan
kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa
bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui
oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: "Ilmuku
tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita
dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat
menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangkali engkau akan melihat
dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu,
wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku."
Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali
mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata
kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak
akan menentang sedikit pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT,
merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang
perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur'an
menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras
ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba
yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya
nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa
sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah
SWT dalam surah al-Kahfi:
"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?' Dia
menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?' Musa berkata: 'Insya Allah kamu akan mendapati aku
sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.'
Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS. al-Kahfi:
66-70)
Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang
berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau
mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun
membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai
bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu
berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia
mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga
papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata
kepada dirinya sendiri: "Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini
dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan
membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik
perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami
tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya." Tindakan Khidir di mata
Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk
kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia
lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi.
Musa berkata: "Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam?
Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela." Mendengar pertanyaan lugas
Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa
untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa
meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak
menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain
oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang
mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba,
Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu.
Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya,
yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali
mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta
maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa
berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan
meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak
mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan
bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan
kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau
menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding
yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun
dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk
memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat
tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk
mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: "Seandainya engkau mau, engkau
bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu." Mendengar perkataan Musa itu,
hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: "Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan
diriku." Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya
tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir
dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar
kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh
ituyang membuat Musa bingungbukanlah hasil dari rekayasanya atau dari
inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak
Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang
tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada
hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek
lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa.
Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan
hamba ini. Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu,
sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit,
sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT
berfirman:
"Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir
melobanginya. Musa berkata: 'Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya
hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar.' Dia (Khidir) berkata: 'Bukankah aku telah berkata:
'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa berkata:
'Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani
aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.' Maka berjalanlah keduanya; hingga
tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa
berkata: 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh
orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.' Khidir berkata:
'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar
bersamaku?' Musa berkata: 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali)
ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu
sudah cukup memberikan uzur kepadaku.' Maka keduanya berjalan; hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk
negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir
menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil
upah untuk itu.' Khidir berkata: 'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di
laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya
adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang
tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan
mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya
itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding
rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu
menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu
menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya,
yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari
musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik
perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu
bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu
kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja
akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan
membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluargakeluarga
mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga
orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil
itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi
mereka karena Allah SWT akan memberi merekasebagai ganti darinyaanak yang
baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak
masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak
yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan
sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik
temyata justru di balik itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah
SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu
menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar
yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke
Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar
dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena
di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang
dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi
yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh
Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan
ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita
berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak
dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan
logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di
atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah
ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah
SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu laduni
kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh
ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut
menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur'an yang menunjukkan
kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
"Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Kedua, perkataan Musa kepadanya:
"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?' Dia
menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu ?' Musa berkata: 'lnsya Allah kamu akan mendapati aku
sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.'
Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu rmnanyakan kepadaku
tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS. al-Kahfi:
66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau
berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada
Musa dengan jawaban yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak
maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak
maksum.
Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui
wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang
menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab,
seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan
kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak
selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk
membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan
perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan
para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan
para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang wali dari
wali-wali Allah SWT.
Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan
Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai
dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)."
Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: "Musa berkata kepada Khidir: "Berilah aku
nasihat." Khidir menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat
kepada-Nya." Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan
setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung
pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi,
sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu
tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk
menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang
jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur'an yang menunjukkan
kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan
sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT
sebagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang
mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita
berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau
kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi karena ia
adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar